Jadi di gereja, saya punya (mantan) pemimpin.
Orangnya sukanya mengajar orang lain. Sukanya menyalahkan orang lain. Dan suka ‘menerapkan’ firman kepada orang lain.
Tapi…
Jujur. Aku merasa dan beberapa banyak orang yang sudah dinasehati, merasa…harusnya firman itu untuk diterapkan kepada dirinya sendiri. Yah itu.. kepada si pemimpin sendiri. Baru mikir ke orang lain. Dirinya sudah sempurnah barulah boleh marah-marah sama yang banyak dosanya ini.
Entah kenapa saya merasa aneh aja.
Koq bisa ya.. suka menasehati. Suka mengajar orang. Suka menegur orang. Suka marah-marah. Suka menyalahkan orang. Tetapi merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Dan tidak menyadari bahwa dia sendiri melakukan hal yang sama. Apa yang disalahkan ke orang lain dilakukannya sendiri.
Suatu kali, si pemimpin ini menegur dan mengajar saya katanya “Kalau maksudnya baik, caranya salah. Benar apa salah itu?”
“Salah.”
“Sekarang, kalau maksudnya baik, waktunya salah! Gimana?”
“Salah.”
“Kalau maksudnya baik, kepada orang yang tidak tepat. Salah apa benar!”
‘Salah.”
“Terus, kalau maksudnya baik, tetapi tempatnya keliru?”
“Salah juga.”
Waktu itu saya ditegur karena mengirim emoji love, hug atau semacamnya kepada anggota chat. Aku sih ga tahu kalau hal yang menurut saya kecil tapi jadi besar. Jadi salah caranya, salah tempatnya, salah ke orangnya, salah waktunya.
Ya, ok. Aku membenarkan diri….
Okay saya saya salah mengirim emoji itu. Kalau dianggap salah ya salah sih. Cuman apa ga dilihat faktor lain ya? Misalnya konteksnya apa aku kirim emoji itu? Atau hubunganku dengan dia sebagai apa? Tapi ya uda lah. Salah ya salah.
Tapi jujur, kalimat yang ditegurkan kepadaku juga harus dilakukan Sang Pemimpin.
Menjadi pemimpin tidak membuat diri kita berhak untuk melanggar firman. Dan hanya untuk dikenakan ke orang lain.
Temanku Yang Membosankan
Jadi ada kasus nih teman saya dimarahin. Karena dia suka sharing di komsel soal tax amnesty. Waktu itu kan sedang gencar-gencarnya tax amnesty. Dan emang sih dia sharing beberapa kali.
Lantas, dia menegur, “Kamu jangan ngomongin soal itu aja!!! Orang bosan dengar! Masak sharing tiap kali itu aja.”
Waktu teman saya berusaha menjelaskan. Di stop, dan dia ngomong “Gini! Gini! Sekarang pikir aja sendiri. Kalau orang cerita dirinya terus kira-kira orang bosan ga sama kamu!”
Lantas, saya bingung. Kamu begitu hebat mengajar ada 4 hal yang harus dipenuhi (caranya, tempatnya, orangnya, waktunya). Kalau tidak dipenuhi meski tujuannya baik tapi salah. Lah koq kamu melanggar apa yang kamu katakan.
Kamu menegur teman saya, ini benar sih maksudnya. Kan mau memperbaiki. Supaya jangan sampai teman saya ini bicara hal yang sama terus menerus. Orang bosan. Maksudnya ya baik sih.
Lah caranya? Kamu mencak-mencak dan marah. Kata-katamu kasar dan arogan, tidak menghargai perasaan orang lain.
Waktunya? Kamu melakukan sehabis komsel di depan banyak orang.
Tempatnya? Di depan orang banyak di rumahmu, selesai komsel itu.
Orangnya? Orang ini adalah jiwa baru. Dia baru bertobat, ingin kenal kasih Kristus. Dan kamu benar-benar menyambutnya dengan peragaan kasih Kristus… atau kasih Farisi ya????
Kamu cuman bisa ngomong doang.
“Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”
MATIUS 7:5